Friday, September 4, 2015

IMPORT - Ketika Anak Membunuh Ibunya

Pada suatu hari… Kancil berjalan di tengah hutan… pretttt…….
Bukan ini….
Semalam, sepulang dari latihan yang melelahkan sejak pagi sampai malam, aku kembali ke rumah. Dalam perjalanan, aku teringat bahwa sudah cukup lama aku tidak singgah ke rumah tulangku (pamanku)… Sebenernya gak pas juga disebut sekalian pulang sih… karena untuk menuju rumah tulang itu, aku harus berganti jalur dan jarak rumah tulangku dengan rumahku bukanlah jarak yang main-main… Tapi karena udah kangen akupun dengan senang hati menyempatkan diri singgah di rumahnya.
Singkat cerita….
yahhh aku gak perlulah menyinggung bahwa aku hampir kecelakaan naik motor, dan aku juga tidak perlu menceritakan bahwa rasanya dingin banget kalau bawa motor gak pake jacket di malam hari, dan aku juga gak perlulah menceritakan kalau di titik tertentu ada gadis-gadis yang melambaikan tangan padaku, menawarkan “BARANG” dagangannya… Gak perlu yakkk…. Langsung saja ke inti cerita yakkk…
Singkat cerita….
Aku tiba di rumah tulang pukul 23.00 WIB. Seperti biasa, keluarga ini masih melek dan masih segar aja di jam segitu…. Dan akupun bergabung dalam obrolan mereka….
Setelah 30 menit,  aku masih belum berencana untuk pulang, dan bahkan berencana untuk nginep, mengingat badanku yang udah mulai remuk, dan rumahku yang jauh banget. Tapi tiba-tiba HPku bunyi…. nomor sesat, alias tak dikenal
Aku: Harrllloooo!!!! Syelamat malaaammeeh… Adya yang bisya dibantyu? *bukan karena alay, tapi emang aku sengaja menunjukkan kesan nyari berantem. Jam 23.30 WIB nelp… kambing aja udah gak sudi direcokin. Beneren lho.. aku bilang Harrrlloooo…. Nek gak percaya, pindah agama gih*
Dia: Iya pak. Saya mau nanya pak, anak saya namanya Saritem Kalashnikov(red: Nama direkayasa) belum pulang latihan koor. apa memang selarut ini yak latihannya?
Aku: *langsung mulessss….. perutku mutar… kepalaku pusing…. tapi ini semua karena semalam aku kebanyakan makan sambel* Lhaaaa…… Si Saritem Kalashnikov ini sejak sebulan yang lalu udah gak pernah latihan lho buk…*Ini dengan suaraku yang asli*
Dia: *hening entah karena apa.. mungkin karena dia tidak menyangka bahwa suaraku seteduh ini…  hoekkk!!!*
Aku: Jam berapa tadi berangkat dari rumah bukk?
Dia: Sejak dua minggu ini dia tiap hari keluar rumah dengan alasan mau konser. Dan hari ini dia berangkat jam 7 pagi.
Aku: *dasar ekor cicak!! kuping kerbau!!! kaki buaya!!! bulu landak!!! leher penyu!!! belalai gajah!!! ” Okeh ibuk…. rumah ibuk dimana? Saya hendak berkunjung malam ini.”
Dia: *memberikan alamatnya secara detail”
=== Brum brum brum……. ===
Sesampai di rumahnya, aku langsung lesu. Ternyata mereka miskin sodara sodara….. Mereka tinggal di rumah kontrakan yang kecil…. Di teras rumah ada sebuah motor butut yang mana aku yakini adalah armada transportasi utama keluarga ini. Mengapa aku lesu melihat mereka miskin? Karena menurutku, dan aku diajarkan orangtuaku suatu prinsip, KALAU MISKIN GAK USAH CARI-CARI MASALAH. MASALAH YANG ADA UDAH CUKUP MEMBUAT SUSAH. Yapppp….. suatu prinsip yang “terpaksa” muncul karena kemiskinan kami, dulu.
Sang ibu menyambut aku dengan wajah tegang dan gelisah.
Aku: “Horass… Mana bapak?”
Dia: “Ahhh itulah… sudah 8 bulan ini bapaknya pergi entah kemana dan entah kenapa.”
Aku: *bahhh.. udah miskin, broken home pulaklah keluarga ini*
Aku tidak perlu menyinggung bahwa si anak yang masih kelas 3 SMA itu udah mulai pacaran, dan bukan hanya dengan seorang lelaki, melainkan dengan beberapa lelaki. Tak perlu juga kuceritakan bahwa menurut si ibu, anak ini tak pernah membantunya mengurusin rumah. Tak perlu juga kuceritakan bahwa menurut si ibu, si anak ini punya kebiasaan, pulang sekolah, kala lapar makan, lalu masuk kamar, dan tidak keluar sampai besok pagi. Tak perlu juga kuceritakan bahwa si anak SANGAT terbiasa melawan si ibu. Tak perlu kusinggung semua itu yakkk… Aku lanjutkan aja ceritanya.
Aku: “Begini ibu, si Saritem Kalashnikov ini masih ikut acara road show kita di luar kota, yang mana ini pasti ibu tahu sudah tuntas sejak sebulan lalu. Tapi sejak itu dia tidak pernah lagi menghadiri latihan padahal kita udah mau konser sebentar lagi.”
===== Kami bercerita panjang lebar. Waktu 00.10 Si  anak tidak bisa dihubungi, karena HP mati =====
Terdengar lagu, “Cinta satu malam oohh indahnya… Cinta satu malam membuat ‘ku melayang”
Ternyata itu nada dering HP si ibu… Dia mengangkatnya, berbicara sedikit, dan keluar rumah….
Selang beberapa lama, si ibu masuk rumah lagi..
Dia: “Ito… Pulang ajalah ito…. si Saritem Kalashnikov sudah di depan rumah itu, tapi dia tidak mau masuk, karena dilihatnya kereta (sepeda motor) ito di depan. Dikenalinya rupanya kereta ito.”
Aku: “Sinih biar kujumpai dia.”
Dia: “Jangan ito… tadi dibilangnya kalau kuijinkan ito menjumpai dia dibunuhnya aku.”
Aku: *Uppsss…. Dia anakmu yang sudah membangkang dan kemudian kau tunduk sama ancamannya? Apa yang selama ini sudah kau ajarkan sama anakmu? I’m out of this*
Sepintas tampaknya si anak bandel, pembangkang… Tapi melihat situasi ini aku merasa tidak mungkin permasalah terletak HANYA pada anak. Si anak mengancam demikian khan pasti berdasarkan pengalaman, bahwa orangtuanya terbuka terhadap ancaman.
Si anak mengancam akan membunuh ibunya, menurutku karena pada prinsipnya sejak dulu dia sudah dibunuh oleh kedua orangtuanya. So, membunuh atau tidak membunuh tidak akan memberi banyak perbedaan bagi hidupnya.

No comments:

Post a Comment